Meskipun program bayi tabung sudah diperkenalkan sejak tahun
1977, program ini baru dilakukan di Indonesia pada tahun 1988. Keberhasilan
program tersebut sekaligus mematahkan anggapan negatif bahwa Indonesia dinilai
belum mampu menjalankannya. Saat ini dari 15 juta pasangan usia subur yang
terdapat di Indonesia, 12%-15% di antaranya mengalami gangguan kesuburan.
Dengan kata lain, satu dari sepuluh pasangan suami isteri (pasutri) tidak mampu
menghasilkan keturunan. Gangguan kesuburan bisa terjadi karena beberapa faktor,
antara lain: adanya masalah pada sperma baik bentuk maupun jumlahnya, terdapat
sumbatan pada saluran telur, munculnya endometriosis derajat sedang dan berat,
proses pematangan sel telur mengalami gangguan, ataupun faktor lain yang tidak
diketahui penyebabnya.
Perkembangan Program Bayi Tabung di Indonesia |
Dari sekian pasutri yang mengalami gangguan kesuburan dan
memilih melakukan program bayi tabung di Indonesia—sebagai solusi untuk
mendapatkan keturunan—ternyata jumlahnya relatif sedikit. Yakni hanya sekitar
1500 orang saja. Artinya, jika diambil 10% dari jumlah pasutri yang mengalami
gangguan kesuburan hanya sekitar 150-200 pasutri yang melakukan program bayi
tabung di Indonesia. Sisanya, mereka lebih memilih melakukannya di luar negeri
seperti di Singapura, Malaysia, Australia, Thailand, dan juga Vietnam.
Menurut dr. Andon Hestiantoro, SpOG (K), Kepala Klinik
Yasmin Kencana Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), tingginya biaya program
bayi tabung di Indonesia menjadi penyebab utama pasien lebih memilih
melakukannya di luar negeri karena di sana biayanya lebih murah. Penyebab
tingginya biaya tidak lain karena mahalnya obat-obatan yang harus dikonsumsi
seorang isteri selama menjalani program tersebut. Selama ini Indonesia memang
belum mampu memproduksi sendiri obat-obatan tersebut sehingga akhirnya
mengandalkan pada impor. Walhasil, harganya bisa sepuluh kali lipat jika
dibandingkan dengan negara Malaysia, Vietnam, maupun Singapura. Apalagi di
negara-negara tersebut obat-obatan itu disubsidi penuh oleh pemerintah alias
gratis.
Mengupas pembahasan dari sejumlah artikel tentang bayi
tabung, faktor biaya ternyata menjadi kendala utama para pasutri dalam
menjalani program ini. Risiko lain adalah tingkat kegagalannya juga cukup
tinggi. Bahkan ada yang menyebutkan hingga 30%. Dengan demikian, persiapan
mental pasti sangat dibutuhkan agar siap menghadapi segala risiko yang akan
terjadi. Selain itu, prosedur pelaksanaannya tidak bisa dilakukan secara instan
sehingga membutuhkan waktu yang relatif lama.
Akibatnya, pasutri yang menjalani
program tersebut dituntut sabar, telaten, dan juga disiplin mengikuti prosedur.
Tentu saja hal ini menjadi tantangan bagi pasutri yang aktivitasnya super
padat. Atau mereka yang tinggal jauh dari klinik yang melayani program bayi
tabung. Meskipun begitu, sejumlah tantangan dan kendala yang ada bukan berarti
tidak bisa diselesaikan. Komunikasi yang terjalin baik di antara suami isteri
serta dukungan dari keluarga dan orang-orang terdekat, sangat memungkinkan bisa
membantu menyelesaikan semua itu. Apalagi keturunan merupakan investasi yang
tak terukur oleh apapun.
Jadi sebelum Anda menjatuhkan pilihan, tak ada salahnya
mencari second opinion dari sejumlah artikel tentang bayi tabung yang banyak
dijumpai di internet. Setidaknya, ini bisa menjadi bahan pertimbangan bagi Anda
untuk mendapatkan keputusan yang terbaik.
Ingin punya bisnis sendiri?
Ingin punya penghasilan
tambahan?
Yang satu ini bisa dikerjakan dari rumah atau dari mana pun saja!
0 komentar:
Posting Komentar