Program bayi tabung dari satu sisi memang cukup membantu
pasangan suami isteri (pasutri) yang mengalami gangguan kesuburan dan ingin
mendapatkan keturunan. Namun di sisi yang lain, hukum bayi tabung akhirnya
menuai pro dan kontra dari sejumlah pihak. Khususnya reaksi dari para alim
ulama yang mempertanyakan keabsahan hukum bayi tabung jika dinilai dari sudut
agama.
Berdasarkan fatwa MUI, hukum bayi tabung sah (diperbolehkan)
dengan syarat sperma dan ovum yang digunakan berasal dari pasutri yang sah.
Sebab hal itu termasuk dalam ranah ikhtiar (usaha) yang berdasarkan
kaidah-kaidah agama.
MUI juga menegaskan, hukum bayi tabung menjadi haram jika
hasil pembuahan sperma dan sel telur pasutri dititipkan di rahim wanita lain.
Demikian pula ketika menggunakan sperma yang telah dibekukan dari suami yang
telah meninggal dunia atau menggunakan sperma dan ovum yang bukan berasal dari
pasutri yang sah, maka hukum bayi tabung dalam hal ini juga haram.
Adapun undang-undang bayi tabung jika dilihat dari sudut
pandang hukum perdata di Indonesia, bisa ditemui dalam Pasal 127 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan. Pasal tersebut mengatur tentang upaya kehamilan yang dilakukan di
luar cara alamiah, yakni hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami isteri yang
sah dengan ketentuan:
- Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami isteri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim isteri dari mana ovum berasal
- Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu;
- Pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu
Dengan demikian status anak tersebut adalah anak sah
sehingga ia memiliki hubungan waris dan keperdataan sebagaimana yang berlaku
pada anak kandung.
Namun Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim seorang
isteri ketika ia telah bercerai dari suaminya, maka status anak yang terlahir
sah jika anak tersebut lahir sebelum 300 hari sejak perceraian terjadi. Bila
anak terlahir setelah masa 300 hari sejak perceraian, status anak tidak sah
sehingga ia tidak memiliki hubungan keperdataan apapun dengan mantan suami dari
sang ibu (Pasal 255 KUH Perdata).
Undang-undang bayi tabung berdasarkan hukum perdata dapat
ditinjau dari beberapa kondisi berikut ini:
- Jika sperma berasal dari pendonor dan setelah terjadi embrio diimplantasikan ke dalam rahim isteri, maka anak yang terlahir statusnya sah dan memiliki hubungan waris serta keperdataan selama suami menerimanya (Pasal 250 KUH Perdata).
- Jika embrio diimplantasikan ke rahim wanita lain yang telah bersuami, maka anak yang terlahir statusnya sah dari pasangan penghamil, dan bukan dari pasangan yang memiliki benih (Pasal 42 UU No. 1/1974 dan Pasal 250 KUH Perdata).
- Jika sperma dan sel telur berasal dari orang yang tidak terikat perkawinan tetapi embrionya diimplantasikan ke rahim wanita yang terikat perkawinan, anak yang terlahir statusnya sah bagi pasutri tersebut.
Jika embrio diimplantasikan ke rahim gadis, maka status anak
yang terlahir adalah anak di luar nikah!
0 komentar:
Posting Komentar